<a href=”https://www.goodreads.com/book/show/31253494-the-black-book” style=”float: left; padding-right: 20px”><img border=”0″ alt=”The Black Book” src=”https://images.gr-assets.com/books/1469602892m/31253494.jpg” /></a><a href=”https://www.goodreads.com/book/show/31253494-the-black-book”>The Black Book</a> by <a href=”https://www.goodreads.com/author/show/1728.Orhan_Pamuk”>Orhan Pamuk</a><br/>
My rating: <a href=”https://www.goodreads.com/review/show/1750774896″>4 of 5 stars</a><br /><br />
So the story of Celal is the other story of Galip, and that’s also the story of my past.<br><br>Maaf, buku yang perlu sebulan lebih untuk saya selesaikan membacanya ini malah bikin saya bernostalgia. Sementara saya belum akan membuat review atas buku ini, tapi cerita dulu. Mumpung saya ingat dan sadar akan siapa diri saya.<br><br>Maksudnya? Saya juga -sekian belas tahun lalu- pernah jadi penulis kolom di sebuah mingguan. Dua mingguan mungkin lebih tepat, karena bergantian dengan bos saya, pemred yang sebelumnya jarang banget menulis selain tugas2 kuliahnya. Abang pemred ini sebenarnya seleb lapangan aksi reformasi ’98, ga punya latar belakang jurnalistik, jadi beliau dapat jatah menulis kolom aja. Mustinya sih dia harus menulis tiap minggu. Namun karena si abang pemred masih susah membiasakan diri dikejar tenggat menulis, maka sebagai redpel (walau belum punya ijazah sarjana), selain melakukan koordinasi tugas para redaktur saya juga ketiban tanggungjawab sebagai penyedia tulisan kolom yang sama, bergantian dengan si abang.<br><br>Menulis kolom itu buat saya -saat itu- bukan hal yang susah. Seputar “kepanikan kiamat” pada 9-9-99 (kalau ada yang ingat, berarti seangkatan dengan saya), tepat hari itu saya datang ke kampus naik metromini disambung KRL tanpa gejala kiamat sama sekali, dan siangnya ke kantor tabloid itu langsung menyetorkan kolom dengan judul “Lewat!”. Kolom minggu itu bikin beberapa pembaca (teman2 saya sendiri) menyampaikan ketakjubannya karena tumben saya mengutip ayat Quran, dari surat An Naazi’at ayat 6-7. Ya ampun, itu kan surat <i>juz amma</i> aja, lulusan madrasah diniyah macam saya bisa lah membacanya. <br><br>Saya tidak sempat mendokumentasikan semua kolom yang saya tulis selama kira2 sembilan bulan aktif di tabloid itu, karena file-nya tersebar di komputer lama atau komputer kantor, yang sekarang entah sudah jadi apa. Tapi satu kolom yang sempat bikin hati girang, yang terbit kira2 Desember 1999, dan berjudul “Orang Bodoh”. Saya memberi <i>lead</i> kutipan Mencken, lupa apa tepatnya, tapi tentang orang bodoh yang merasa pintar dan orang pintar yang merasa bodoh. Kutipan itu juga “boleh nemu” di buku tentang editorial, salah satu bacaan sok pintar saya saat mengambil mata kuliah Menulis Feature dan Editorial (sampai tiga kali karena dua kali tidak lulus).<br>Bukan isi kolom itu (tentang mahasiswa yang masih malas menulis karena merasa “tidak berbakat”) yang bikin saya girang, tapi sebuah surat pembaca yang datang ke redaksi pada minggu berikutnya. Penulisnya juga entah siapa saya lupa, tapi dia membedah artikel tabloid kami dengan menulis poin2 yang membuat kami di redaksi manggut2 takzim bak ditegur dan dijewer karena sayang. Dan, tulis si pembuat surat pembaca itu, kolom “Orang Bodoh” itu merupakan tulisan kesukaannya pada edisi tabloid kami yang lalu.<br><br>Seandainya, si penulis surat pembaca itu tahu bahwa saya menulis kolom itu tanpa keseriusan, hanya bermodal buku Editorial, sambungan internet dan kegalauan karena skripsi saya yang belum selesai juga, akankah nasib saya akan sama seperti Celal Sadik?
<br/><br/>
<a href=”https://www.goodreads.com/review/list/1007892-bunga-mawar”>View all my reviews</a>